Tolak Tuduhan Pelanggaran HAM di Uighur, Mengapa Cina Ngotot?

Tolak Tuduhan Pelanggaran HAM di Uighur, Mengapa Cina Ngotot? – Pertengahan beberapa waktu silam, salah satu media berita merilis dokumen memuat ada dugaan tindak kekerasan terhadap kelompok Uighur di Xinjiang oleh pemerintah Cina. Dokumen setebal 403 halaman ini mengungkap bagaimana Presiden Cina, Xi Jinping, pada 2014 memerintahkan para pejabat di bawahnya untuk membalas aksi gerilyawan Uighur “sekeras mungkin” serta “tanpa belas kasihan.”

Dokumen tersebut ikut menyebutkan Cina mesti meniru langkah AS pasca-911 untuk menangani paham ekstrimisme. Sisi lain memperlihatkan mereka yang dianggap terpapar ekstremisme agama perlu menjalani pelatihan dan program re-edukasi. Mereka tidak diperbolehkan pulang sampai pikirannya dinilai “bersih.” Oleh PBB, praktik semacam ini dituding melanggar HAM. https://www.queenaantwerp.com/

Tolak Tuduhan Pelanggaran HAM di Uighur, Mengapa Cina Ngotot?

Namun, pemerintah Cina menolak tuduhan itu. Mereka memiliki pendapat bahwa tujuan dari program itu adalah penanggulangan serta pemberantasan paham ekstrimisme agama maupun terorisme. Sebuah surat kabar pro-Cina, menyatakan laporan tersebut, tak ubahnya seperti obsesi Barat yang “ingin melihat Xinjiang dilanda kekerasan dan kekacauan ekstrem”. https://www.queenaantwerp.com/

Menyangkal secara Tegas

Masalah Uighur semakin menarik perhatian banyak negara, terutama dari Barat. Hampir sebagian dari mereka meminta Cina tidak menutupi lagi pelanggaran HAM yang menimpa Muslim Uighur di Xinjiang.

Amerika Serikat, misalnya, baru-baru ini menyetujui rancangan kebijakan yang menekan perlakuan buruk Cina terhadap orang-orang Uighur. Rancangan ini, seperti dilaporkan salah satu media berita, bakal membuat pemerintah AS dapat mengawasi perkembangan kondisi komunitas Uighur. Rancangan diajukan setelah pemerintah memperoleh data dari Departemen Luar Negeri dan FBI.

Meski demikian, pemerintah AS harus mendapatkan persetujuan dari DPR agar kebijakan ini bisa diterapkan. Bila nanti kebijakan sudah disahkan, pemerintah AS bisa berpeluang menjatuhkan hukuman kepada pejabat teras Cina sehubungan kasus Uighur.

Permasalahan yang menimpa Uighur telah menjadi tajuk pemberitaan dunia internasional dalam beberapa tahun belakangan. Poinnya sama: pemerintah Cina dinilai melanggar HAM.

Pada Agustus tahun 2018 yang lalu, sebagaimana diwartakan salah satu media berita, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial melaporkan pemerintah Cina telah menahan sekitar satu juta orang dari komunitas Uighur pada tempat “serupa kamp interniran berukuran besar.” Laporan komite ini didukung oleh hasil investigasi LSM HAM seperti Amnesty International dan Human Rights Watch.

Para Muslim dari Uighur, catat Amnesty International dan Human Rights Watch, dipaksa bersumpah setia kepada Presiden Xi Jinping, ditahan tanpa batas waktu yang jelas, diperlakukan layaknya sumber penyakit, sampai didorong menyerukan slogan-slogan Partai Komunis. Selain  daripada itu, pemerintah Cina mengawasi gerak-gerik masyarakat Uighur secara ketat lewat pemantauan kartu identitas, pos pemeriksaan, identifikasi wajah, serta pengumpulan DNA dari jutaan warga.

Pemenjaraan itu tak jarang berujung pada penyiksaan, kelaparan, dan kematian.

Sikap dari pemerintah negara Cina tidak  pernah berubah sejak kasus pelanggaran HAM ini menyeruak ke permukaan: menyangkal secara tegas.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Hua Chunying berkata penduduk beragam etnis di Xinjiang hidup dan bekerja dalam “kedamaian, kepuasan, serta menikmati kehidupan yang damai sekaligus maju.”

Gesekan Sosial di Wilayah Otonom

Provinsi yaitu Xinjiang— atau biasanya disebut Turkestan Timur—terletak di barat laut Cina dan berbatasan dengan Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Pakistan, dan Afghanistan. Budaya, agama, dan bahasa masyarakat Xinjiang sangat berbeda dari kebanyakan provinsi di Cina.

Tolak Tuduhan Pelanggaran HAM di Uighur, Mengapa Cina Ngotot?

Terdapat sejumlah lebih dari 50 etnis minoritas di Xinjiang, baik yang berasal dari Cina maupun Asia Tengah. Ini termasuk komunitas Uighur yang punya garis keturunan bangsa Turk dan berbicara dalam bahasa Uighur.

Isabella Steinhauer saat “International Social Support and Intervention: The Uyghur Movement -Xinjiang Province, China”, menulis selama berabad-abad, relasi Xinjiang dan Beijing mengalami pasang surut.

Pada tahun 1949, setelah Partai Komunis Cina memenangkan perang sipil, Beijing secara resmi mengklaim Xinjiang sebagai wilayahnya. Pemerintah memberi status wilayah otonom bernama Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR).

Pemberian otonomi didasari faktor ekonomi mengingat Xinjiang menyimpan cadangan minyak dan mineral yang cukup besar. Bukan cuma itu, Xinjiang jadi pintu masuk Cina ke Asia Tengah dan Timur Tengah: dua wilayah yang kini jadi salah dua lumbung investasi Cina.

Catatan Council on Foreign Relations menyatakan bahwa tak lama usai pemberian status otonomi, Cina meluncurkan berbagai macam proyek pembangunan. Pada tahun 1954, Cina mendirikan Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) untuk menggarap pemukiman dan pertanian. Proyek ini berlangsung selama kurang lebih setengah abad.

Pada awal 1990-an, zona ekonomi khusus diberlakukan di Xinjiang. Beijing mensubsidi petani kapas lokal dan merombak sistem perpajakannya. Masih dalam periode yang sama, pemerintah pusat mengucurkan modal untuk proyek-proyek infrastruktur, misalnya, membangun Tarim Desert Highway dan jalur kereta ke Xinjiang barat.

Tingginya arus pembangunan memicu arus kedatangan pekerja migran ke Xinjiang, khususnya etnis Han, suku terbesar di Cina. Walhasil, populasi Han di Xinjiang meningkat secara dramatis. Dari yang semula hanya 6,7 persen (220.000) pada 1949, melonjak jadi 40 persen (8,4 juta) pada 2008.

Dampak jangka panjang dari migrasi suku Han adalah gesekan sosial.

Akses masyarakat dari Uighur menuju ke air bersih dan tanah kian terbatas. Kesenjangan ekonomi meningkat akibat praktik perekrutan pekerja yang diskriminatif. Etnis Han semakin menjadi kaya, sedangkan orang Uighur kian miskin di tanah leluhurnya sendiri.

Gesekan di Xinjiang makin diperburuk oleh kebijakan Beijing selama beberapa tahun belakangan. Masih pendapat dari Council on Foreign Relations, Beijing melarang masyarakat Uighur menjalankan puasa Ramadan atau mengenakan cadar. Kemudian, atas nama pembangunan infrastruktur, pemerintah Cina tak segan meruntuhkan bangunan kuno di Kashgar.

Pada 2009, etnis Uighur dan Han terlibat bentrokan setelah dua pekerja Uighur tewas di Guangdong. Bentrokan ini menyebabkan sebanyak 197 orang tewas, lebih dari 1.600 orang terluka, dan 718 orang ditahan.

Situasi bertambah panas dengan kemunculan gerakan separatis seperti East Turkestan Islamic Movement (ETIM) yang sudah eksis sejak 1990-an. Pada Beijing, ETIM dikategorikan sebagai teroris dan diklaim berafiliasi dengan Al-Qaeda sehingga layak diperangi.

Pasca-911, seiring masifnya “Perang Melawan Teror”-nya Bush, Beijing mulai meningkatkan kewaspadaan di Xinjiang.

Pemerintah Beijing menangkapi pihak-pihak yang diduga terlibat “kegiatan keagamaan ilegal,” membungkam para ulama di Kashgar yang dicap menyuarakan pesan-pesan ekstremis, hingga tak ragu menutup masjid di Karakash, demikian tulis Dana Carver Boehm pada “China ‘s Failed War on Terror: Fanning the Flames of Uighur Separatist Violence” (2009, PDF, terbit di Berkeley Journal of Middle Eastern & Islamic Law).

Permasalahannya, tangan besi Beijing seringkali menyasar warga sipil yang sama sekali tak bersalah.

Demi Proyek Infrastruktur?

Pemerintah negara Cina seringkali melontarkan narasi kontra terhadap tuduhan “pelanggaran HAM” atas apa yang dilakukan terhadap muslim Uighur. Agar sentimen tak makin memburuk, salah satu cara yang dilakukan pemerintah Cina adalah mengundang jurnalis dari pelbagai negara untuk meliput dan melihat sendiri keadaan Uighur di Xinjiang.

Pengalaman itu pernah ditulis oleh Peter Martin dalam laporan berjudul “How China Is Defending Its Detention of Muslims to the World” yang dipublikasikan salah satu media berita (2019). Peter menyatakan kendati pemerintah Cina ‘membuka’ pintu bagi media, tetap saja agenda itu dikontrol secara ketat: dari jadwal, tempat yang dituju, sampai daftar narasumber.

Kunjungan tersebut, tulis Peter, merupakan cara Cina untuk mengubah citra buruknya di mata internasional. Pemerintah Cina seolah ingin menegaskan apa yang selama ini diberitakan “media-media Barat” adalah salah belaka. Pesan dari pemerintah cukup jelas: kebijakan di Xinjuang ditujukan untuk memberi stabilitas dan memastikan pertumbuhan ekonomi aman terkendali.

Selain daripada itu mengundang jurnalis, pemerintah Cina mengeluarkan dokumen resmi mengenai sejarah Uighur di Xinjiang. Dokumen berjudul “Historical Matters Concerning Xinjiang” itu menyebut Uighur merupakan bagian dari Cina sejak lama sekalipun telah mengalami proses migrasi sekaligus integrasi yang cukup panjang, demikian lapor salah satu media berita.