Politik Berkemanusiaan, Warisan Gusdur Bagi Indonesia

Politik Berkemanusiaan, Warisan Gusdur Bagi Indonesia – Politik tidak cuma sekadar kontestasi indentitas yang mengerahkan massa demi kekuasaan. Bagi Gusdur politik itu untuk memanusiakan manusia.

Demikian intisari dari perayaan Haul Gusdur ke-9 di Balai Kota Bogor malam. Haul Gusdur yang didatangi oleh sekitar 200 orang ini digagas oleh komunitas Gusdurian Kota Bogor bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan lintas iman serta didukung oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. poker asia

Politik Berkemanusiaan, Warisan Gusdur Bagi Indonesia

Bulan Desember merupakan bulannya Gus Dur. Meskipun beliau telah tiada, namun pemikiran dan gagasannya senantiasa menghiasi demokrasi bangsa ini. Menjadi warisan yang amat berharga dalam perkembangan kebangsaan, toleransi, demokrasi, dan pluralisme. Tak diragukan lagi sikap kenegarawanan sekaligus keagamawanannya. Menjadi pelopor terbukanya khazanah Islam bumi nusantara di mata masyarakat internasional.

Meskipun pemikiran dan prilakunya sering dianggap kontroversial. Belakangan ini justru terbukti dan dikenang oleh sejarah. Seperti kebijakannya membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan, mengubah keangkeran istana negara dengan menerima tamu umum, menjalin relasi ke Israel, sering bepergian keluar negeri saat menjabat sebagai presiden, membela etnis Tionghoa dan Ahmadiyah serta kaum tertindas lainnya. Gus Dur melakukan itu semua demi keutuhan NKRI. Cara berpikirnya yang melampui zaman, sehingga orang awam sulit untuk mencernanya. Politik kebangsaanya tak perlu diragukan lagi. Diibaratkan lokomotive ia kepalanya, dibelakangnya gerbong berisi generasi selanjutnya dan anak-ank muda yang siap meneruskan pemikiran dan gagasan Gus Dur.

Kehadiran berbagai tokoh lintas iman dan pemerintahan diantaranya, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Ketua Badan Sosial Lintas Iman (Basolia) Kota Bogor KH Zaenal Abidin, Ketua dari Majelis Ulama Kota Bogor (MUI) KH Mustofa Abdullah Bin Nuh, Perwakilan dari Uskup Bogor RD Mikail Endro Susanto, dan anak ke-3 dari almarhum Gusdur yakni Anita Hayatunnufus Wahid.

– Rindu Gusdur

Almarhum KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gusdur bukan hanya seorang mantan Presiden Republik Indonesia, namun juga seorang tokoh pemersatu yang hadir untuk semua. Untuknya yang terpenting dari politik adalah kemanusiaan dan politik harus bisa memanusiakan manusia.

Wali Kota Bogor Bima Arya mengaku rindu terhadap sosok Gusdur. “Hari ini kita semakin rindu kepada Gusdur. Ketika ada orang-orang  yang memanipulasi sentimen agama untuk kepentingan politik, ketika ada orang yang merasa tidak perlu membela minoritas, atau ketika ada orang-orang yang ingin menyeragamkan Indonesia, kita rindu kepada Gusdur. Rasanya hampr tidak ada guru bangsa yang bisa mempersatukan semua atas nama kemanusiaan,” katanya.

Bima mengharapkan pertemuan ini tidaklah selebrasi kosong untuk mengenang almarhum Gusdur. “Kita disini supaya menyambung terus warisan pemikiran, idealisme, dan gagasan Gusdur agar selalu bisa dibumikan di Kota Bogor ini. Dengan para tokoh agama kita ada digaris yang paling depan untuk menjaga kebersamaan, pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bineka Tunggal Ika,” ujarnya disambut dengan riuh tepuk tangan masyarakat yang hadir.

– Teladan Ketauhidan

Untuk anak ke-3 Gusdur yang akarab disapa Anita, ayahnya menjadi sosok yang memiliki kesan tersendiri. Menurut Anita Gusdur adalah orang yang kuat dalam nilai, itulah yang membuat Gusdur memperjuangkan hak-hak kaum minoritas. Hal itu juga yang tidak dimiliki oleh politisi masa kini. Gusdur memiliki prinsip, memperjuangkan nilai tidak harus menghancurkan nilai yang lain. Sebagai contoh, meperjuangkan sila pertama (Ketuhanan) tidak harus menghancurkan sila ketiga (Persatuan).

“Gusdur berjalan di dalam 9 nilai, yang utama yaitu ketauhidan (konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah, red). Nilai-nilai yang lain seperti kemanusiaan, kesetaraan, persatuan, toleransi dan yang lainnya merupakan turunan dari ketauhidan. Oleh sebabnya ketika menjadi seorang Presiden, Gusdur tidak pernah hitung-hitungan politik, tetapi memperjuangan nilai-nilai tersebut,” jelas Anita yang baru-baru ini aktif dalam Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia).       

Politik Berkemanusiaan, Warisan Gusdur Bagi Indonesia

Mengakhiri diskusi hari itu, Anita mengajak masyarakat untuk menghadirkan perdamaian dari dalam diri sendiri. “Gusdur pernah bilang, perdamaian tanpa keadilan itu ilusi. Hari ini, banyak orang berpikir bahwa perdamaian itu berarti tidak ada konflik. Padahal, damai itu ada di dalam diri kita, damai itu hadir dari rasa welas asih, persaudaran, dan masih banyak lagi. Oleh karenanya mari kita hadirkan perdamaian di Indonesia ini mulai dari diri kita sendiri,” ajaknya.

Selain dari dialog kebangsaan, acara ini juga diisi dengan berbagai penampilan seni dari berbagai unsur masyarakat. Adapun para penampil diantaranya Paduan Suara Katolik yang membawakan lagu Yalal Wathon yang berarti cinta tanah air, dan kolaborasi antara Musisi Jalanan Center dengan Farid putra kedua dari almarhum Mbah Surip membawakan lagu NKRI Harga Mati.

Warisan Gus Dur :

Seseorang pernah berkata, “yang bukan saudaramu seiman, adalah saudara dalam kemanusiaan.” Pernyataan ini sangat tampak dalam perjalanan hidup Gus Dur. Beliau adalah tokoh yang tak pernah melihat latar belakang dari yang ditolongnya.

Untuk beliau, kemanusiaan dalam bingkai persaudaraan adalah harga mati yang perlu diperjuangkan selama hayat masih dikandung badan.

Suatu ketika beliau pernah ditanya, “jika kelak dipanggil kembali oleh Tuhan, apa yang sebaiknya kita atau bangsa ini lakukan sebagai bentuk penghormatan untuk Gus Dur?”. Beliau menjawab, “kalau saya meninggal, tulis saja di batu nisan saya ‘Di sini terbaring seorang humanis’.”

Pada tahun 1998, negeri ini bergejolak. Kekerasan terjadi di mana-mana. Kelompok etnis Tionghoa dicekam ketakutan setiap hari. Di masa itu, banyak di antara mereka yang tak bekerja karena alasan keamanan.

Di saat seperti itulah, menurut Ben Subrata, banyak masyarakat Tionghoa yang berpaling ke Gus Dur untuk meminta nasihat, pandangan, juga perlindungan di saat banyak di antara mereka yang mulai berpikir untuk memutuskan apakah akan tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia atau sebaliknya. Serta Gus Dur tampil, meyakinkan bahwa mereka adalah bagian dari bangsa ini.

Saat Gus Dur menjadi presiden, beliau semakin gencar memperjuangkan kemanusiaan, dengan wujud berbagai pengakuan. Di masa kepemimpinannya, hukum-hukum yang dinilai diskriminatif dicabut seperti menetapkan kebijakan menjadikan Tahun Baru Tiongkok (Imlek) sebagai hari libur opsional, yang kemudian diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.

Yang paling membekas untuk kaum Tionghoa adalah peresmian dan pelegalan Konghucu sebagai agama yang sah dan resmi di Indonesia, padahal sebelumnya selama rezim orde baru kaum Tionghoa tidak bisa bergerak bebas dan serba terbatas dalam gerak-gerik. Sehingga untuk masyarakat Konghucu beliau disebut sebagai Toa Pe Kong (Orang suci dalam pandangan Konghucu).

Belum lagi pembelaan beliau terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiah, aliran kepercayaan dan lain-lain. Pada  posisi sebagai presiden maupun bukan, kemanusiaan dan persaudaraan tetap saja berada pada prioritas utama yang beliau perjuangkan selama hidupnya.

Warisan pemikiran dan perjuangan inilah yang semestinya terus kita pupuk sebagai bentuk warisan yang tetap tumbuh subur, hasil dari bibit yang ditanamkan Gus Dur dalam perjalanan hidupnya. Gus Dur tak pernah benar-benar meninggalkan kita. Kita masih saja menemui orang-orang yang senantiasa hidup dengan nilai-nilai yang dibawa beliau.

Orang-orang ini yang akan menjaga kebhinnekaan Indonesia. Menjaga persatuan dan persaudaraan Indonesia yang terdiri dari agama dan suku yang berbeda-beda. Orang-orang juga inilah yang akan melanjutkan estafet perjuangan hidup Gus Dur dan mengajarkannya hingga anak cucu kelak.